HIMPUNAN MAHASISWA SEJARAH UNIVERSITAS DIPONEGORO

Selamat Datang Smart People

SEJARAH HEBAT

Foto angkatan Himpunan Mahasiswa Sejarah masa bakti 2017-2018.

PENERBITAN SELALU BERSINAR

Jangan Lupa Membaca dan Budayakan Literasi

ABHINAWA CITRALEKA

memiliki arti penulis Prasasti yang luar biasa.

Logo Himpunan Mahasiswa Sejarah Universitas Diponegoro

Digambarkan dengan Ganesa karena mempunyai makna sebagai dewa pengetahuan dan kecerdasan.

Sabtu, 05 September 2020

MENGUAK TABIR KEMATIAN MUNIR

 16 tahun telah berlalu, meninggalnya seorang aktivis HAM Munir masih menyisakan tanda tanya besar mengenai siapa otak atau dalang pembunuh Munir? Kasus kematian Munir hanya satu dari banyak kasus pelanggaran HAM yang belum menemukan titik terang hingga saat ini. Hukum di Indonesia harusnya lebih diperkuat lagi tentang HAM, karena di masa sekarang hukum di Indonesia seakan-akan hanya berlaku bagi orang-orang lemah saja sedangkan orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi dapat dengan mudah lepas dari jerat hukum yang seharusnya tidak memandang status sosial seseorang di masyarakat. Akan tetapi, kenyataannya malah sebaliknya, inilah yang menyebabkan kaum bawah semakin tertindas dan sengsara. Terbukti dari banyakanya kasus kematian yang tak kunjung usai dan tak kunjung menemukan titik terang seperti kasus kematian Munir. Seharusnya pemerintah segera terbangun dari tidur panjangnya dalam artian pemerintah harus sadar bahwa hukum sebenarnya ada untuk menegakkan kebenaran, bukan untuk menutupi kebenaran yang ada. Kelemahan hukum di Indonesia juga akan memiliki dampak pada semakin meningkatnya kejahatan jika pemerintah tidak segera tanggap untuk memperbaiki peraturan hukum di Indonesia. Kasus kematian Munir dapat menjadi pembelajaran bagi negara Indonesia untuk segera meninggalkan cara-cara yang bersifat otoriter, karena semua rakyat Indonesia memiliki hak untuk memperoleh kebenaran, hak hidup, hak keadilan, dan hak akan rasa aman. Inilah yang menjadi bukti nyata bahwa sebuah jabatan yang ada di suatu negara, di mana jabatan itu hanya akan memenangkan kepentingan para kaum penguasa dan menyingkirkan sebuah kebenaran yang sebenarnya sudah jelas terpampang di depan mata.

Sebelum lebih jauh kita membahas mengenai misteri kematian sang aktivis Munir, alangkah baiknya kita mengetahui terlebih dahulu siapa itu Munir? Munir Said Thalib atau biasa kita kenal dengan Munir lahir di Malang pada tanggal 8 Desember 1965. Beliau sempat menyelesaikan Pendidikan S1-nya di Universitas Brawijaya. Selama beliau menjadi mahasiswa, Munir dikenal sebagai salah satu aktivis di kampusnya. Akan tetapi, sekarang beliau lebih dikenal sebagai aktivis yang menangani pelanggaran HAM yang ada di Indonesia. Munir merupakan seorang aktivis KontraS (Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) yang cukup terkenal pada masa setelah reformasi. Selain karena aktivitasnya yang mengusut berbagai kasus pelanggaran HAM, mulai dari kasus pembunuhan Marsinah tahun 1994, penghilangan orang pada masa transisi tahun 1997-1998, sampai ikut mengusut kasus kekerasan pada Daerah Operasi Militer (DOM) Timor-Timur, Aceh, dan Papua. Berkat keberaniannya dalam menantang politik militer pada masa transisi tersebut, ia mendapatkan penghargaan The Leaders for The Millenium dari majalah Asia Week tahun 2000. Akan tetapi, ia juga sangat dikenal karena pembunuhannya pada tanggal 7 September 2004 yang dianggap sebagai salah satu bentuk dari tindakan kejahatan oleh negara dalam hal ini aparat negara terhadap kemanusiaan. Terlebih lagi pembunuhan ini dapat dikatakan dilakukan dengan cara yang sangat terorganisir dan merupakan upaya agar kejahatan ini tidak diketahui oleh khalayak umum. Di mana Munir berencana untuk melanjutkan pendidikan pasca sarjananya di Utrecth, Belanda. Tetapi takdir berkata lain, dalam perjalanan menuju negara yang dituju tepatnya di bandara Schipol, Amsterdam, Munir telah ditemukan dalam keadaan kondisi meninggal dunia. Munir diduga dengan sengaja dibunuh dengan cara diracuni dengan racun Arsenikum. Ini bukan tuduhan tanpa bukti, karena berdasarkan pada hasil pemeriksaan/autopsi pada jenazah Munir terdapat racun Arsenik di dalam makanan serta minuman yang beliau konsumsi.

Munir adalah salah seorang aktivis HAM yang cukup memiliki pengaruh yang besar di Indonesia. Para aktivis HAM sering kali terancam keselamatannya karena pemikiran mereka yang sering kali berseberangan dengan pemerintah. Oleh karena itu tidak heran jika kasus kematian Munir terlihat jelas terdapat kejanggalan. Besar kemungkinannya kaum penguasa yang memiliki jabatan juga ikut andil dalam kasus pembunuhan yang terorganisir ini. Beberapa pelaku yang ditetapkan sebagai pembunuh Munir telah diketahui, namun dalam proses hukum mereka hanya diberi sanksi dan denda saja. Proses hukum yang tidak jelas dan terlalu berbelit-belit semakin membuat kasus pembunuhan sang aktivis HAM Munir tidak tentu arahnya. Banyak sekali pihak yang berkepentingan memang terlihat dengan sengaja membuat kasus kematian Munir seakan tidak akan dapat diungkapkan.

Pollycarpus Budihari Prayitno adalah salah seorang nama pelaku utama yang diduga kuat telah sengaja membunuh Munir. Karena telah cukup banyak bukti yang mengarah pada Pollycarpus yang dengan sengaja memalsukan surat izin terbangnya padahal pada tanggal tersebut ia mendapat cuti. Sebelum Munir meninggal, Pollycarpus sempat meminta Munir untuk pindah tempat duduk. Akan tetapi, ketika Pollycarpus dituduh sebagai pembunuh Munir, ia dengan tegas langsung menyangkalnya. Dalam proses penegakan hukum yang berlaku, Pollycarpus hanya dihukum karena pemalsuan surat izin saja. Tidak ada yang mengetahui apa sebenarnya motif Pollycarpus membunuh Munir karena di antara Munir dan Pollycarpus tidak memiliki keterkaitan hubungan apapun. Sepertinya Pollycarpus hanyalah orang suruhan yang hanya disuruh untuk membunuh Munir. Banyak bukti yang terungkap dari misteri kematian Munir, tetapi semua itu tidaklah cukup untuk menemukan kebenaran dari kasus kematian Munir yang sebenarnya. Hingga saat ini, kasus ini masih belum jelas kebenarannya.

 

Oleh : Divisi Kastrat HM Sejarah Undip 2020

Jumat, 24 Mei 2019

PRASASTI EDISI KE-2 BULAN MEI 2019

Hallo historian!
 Jangan LUPA BACA
Pendidikan itu penting yaaa, tapi jangan sampai kalian gatau tentang pendidikan  . Nah untuk membuka kembali pemikiran kita prasasti edisi ke-2 bulan Mei 2019 telah terbit nih. Tema kali ini yaitu “Arah Pendidikan”.
Prasasti dapat di baca di Rubah (Ruang Baca Sejarah) dan dapat juga diakses di blog HM Sejarah



So, let’s read guys…

#DivisiPenerbitan
#SATYAGRAHA
#HMSejarahUndip2019

Selasa, 23 April 2019

PRASASTI EDISI KE-1 BULAN APRIL 2019

Hallo historian!
Sudah pada nyoblos belum? Jangan golput ya…
Politik itu seru juga ya, tapi jangan sampai kalian gatau politik . Nah untuk membuka kembali pemikiran kita prasasti edisi ke-1 bulan April 2019 telah terbit nih. Tema kali ini yaitu “Rasa Politik”.
Prasasti dapat di baca di Rubah (Ruang Baca Sejarah) dan dapat juga diakses di blog HM Sejarah

Blog Sejarah : hmsejarahundip1980.blogspot.com

https://drive.google.com/file/d/1a_ZWIoSTu2fdzks10luEtOUAGehDgbO_/view?usp=drivesdk






So, let’s read guys…
#DivisiPenerbitan
#SATYAGRAHA
#HMSejarahUndip2019

Rabu, 27 Maret 2019

Prasasti Edisi 3

Hallo historian!
Sudah pada nyoblos belum? Jangan golput ya…
Politik kampus seru juga ya, tapi jangan sampai kalian gatau politik negara kita dari zaman-zaman. Nah untuk membuka kembali pemikiran kita prasasti edisi ke-3 telah terbit nih. Tema kali ini yaitu “Suksesi Politik dalam Sudut Pandang Sejarah”.
Prasasti dapat di baca di Rubah (Ruang Baca Sejarah) dan dapat juga diakses di blog HM Sejarah

https://hmsejarahundip.files.wordpress.com/2018/11/pelayaran-politik-di-indonesia.pdf


So, let’s read guys…
#DivisiPenerbitan
#TangguhBeraksi
#HMSejarahUndip2018

Prasasti Edisi 2

Halo Historian!
Prasasti edisi 2 yang bertemakan kemerdekaan Indonesia sudah terbit!
So, let’s read guys.
Prasasti edisi 2 bisa dibaca melalui link dibawah ini

#DivisiPenerbitan #TangguhBeraksi #HMSejarahUndip2018

Prasasti Edisi 1

Halo Historian!
Prasasti edisi 1 sudah terbit.
Prasasti ini bertemakan tentang Hari Nelayan. Prasasti ini berisi tentang kesejarahan, seputar sejarah, opini, rubrik, dan ada komik strip.
So, let’s read guys.
Prasasti edisi 1 bisa dibaca pada link dibawah ini
#DivisiPenerbitan #TangguhBeraksi #HMSejarahUndip2018

Selasa, 26 Maret 2019

Sinema dan Tentara

Kita tahu dulu tentara pernah menduduki posisi strategis untuk mengontrol jalannya pemerintahan. Mulai dari badan Eksekutif, Legislatif hingga Yudikatif tidak luput dari intervensi militer. Adanya sebuah upaya yang bertujuan untuk mendominasi segala segi kehidupan bernegara. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka militer harus menciptakan pola pikir masyarakat yang berorientasi pada hanya militer lah yang pantas untuk mengelola negara ini.  Pastinya militer memerlukan medium untuk menanamkan ideologisasi militerismenya. Dari banyaknya medium yang digunakan, salah satu mediumnya adalah film.
Pada awalnya film adalah ajang rekreasi atau hiburan bagi masyarakat kelas bawah di perkotaan, lalu dengan cepat menembus batas-batas kelas dan menjangkau masyarakat yang lebih luas. Kemampuan film yang mampu menjangkau banyak segmen sosial, kemudian menyadarkan para ahli bahwa film memiliki potensi untuk mempengaruhi khalayaknya.
Karakteristik film sebagai media massa juga mampu membentuk semacam konsesus publik secara visual (visual public consesus), karena film selalu bertautan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan selera publik. Dengan kata lain, film merangkum pluralitas nilai yang ada dalam masyarakatnya.[1]
Film sebagai medium ideologisasi militerisme memang digunakan militer di Indonesia, terutama di masa Orde Baru. Meski  ada beberapa film produksi Orde Lama   yang juga mengangkat militer sebagai orientasi utamanya. Seperti contohnya yaitu Enam Djam di Jogja. Film kedua yang diproduksi Perfini, perusahaan film yang didirikan pada 30 Maret 1950 oleh Usmar Ismail. Film yang pertama dari Perfini adalah Darah dan Do’a (Long March).
Sebenarnya ada negara lain yang juga menggunakan film sebagai medium ideologisasi militer, yaitu negara Amerika Serikat dalam film Rambo. Namun, diantara keduanya pasti terdapat perbedaan. Yaitu pada nilai kualitas, film-film Indonesia banyak yang jelek. Sebab, sangat kelihatan tipuan-tipuan pada setiap adegan. Berbeda dengan film Amerika Serikat, misalnya Rambo. Film ini digarap dengan serius. Adegan-adegannya dibuat sedimikian rupa agar terlihat sungguh-sungguh. Jika saja penggarapannya dibuat dengan sungguh-sungguh, film itu akan memiliki kualitas bagus. Film yang memiliki kualitas bagus menjadi potensial sebagai medium ideologisasi militerisme.
Film yang dijadikan sebagai medium ideologisasi militer memiliki genre khas, yaitu “film sejarah” (atau kadangkala disebut pula “film perjuangan”). Peristiwa-peristiwa yang temanya tentang pertempuran melawan pendudukan Belanda paling banyak diangkat ke permukaan. Meski ada beberapa film mengambil setting masa kolonial (Si Pitung) dan ada juga yang mengambil setting pada masa pendudukan Jepang (Lebak Membara).
Salah satu badan yang berpengaruh pada kontrol perfilman adalah istitusi sensor. Di Indonesia, institusi tersebut dinamakan Badan Sensor Film (BSF). BSF ini sudah ada sejak jaman Belanda. Sekarang badan tersebut bernama Lembaga Sensor Film.
BSF hanyalah bagian dari kisah penyensoran Orde Baru. Skenario sebuah film harus memperoleh rekomendasi dari Direktorat Film Departemen Penerangan sebelum syuting dilakukan. Setelah syuting, rush copy atau film yang belum diedit harus diserahkan kepada BSF untuk memperoleh petunjuk mengenai bagian yang harus diedit. Setiap film yang telah diproduksi atau diimpor, harus diserahkan pada BSF untuk ditonton oleh komite (3 orang).
Disisi lain, komandan militer rayon dan pemerintah lokal bisa menghentikan peredaran film yang telah lolos dari BSF di wilayahnya. Regulasi mengenai peraturan tersebut ditetapkan pada tahun 1970an. Tahun 1975, Badan Pembinaan Perfilman Daerah (BAPFIDA) didirikan di tingkat propinsi. Dikepalai oleh kepala wilayah departemen termasuk aparat keamanan yang ditunjuk oleh Gubernur.
Film-film Indonesia, Eropa,  dan Amerika berada di bawah perwakilan Departemen Penerangan sedangkan film Asia di bawah Badan Koordinasi Intelijen (Bakin). Sementara itu, kaset video berada di bawah Kejaksaan Agung. BAKIN juga memiliki dua perwakilan di BSF, kantor Kejaksaan Agung memiliki tiga, serta Kepolisian memiliki empat anggota. Karena itu, departemen pemerintahan memiliki dua per tiga dari anggota BSF – lebih dari sepertiganya adalah Angkatan Bersenjata.[2]
Ironisnya, sensor tidak hanya membatasi. Sensor juga menciptakan kondisi bagi setiap pembuat film dan penonton. Institusi itu memaksa pembuat film dan penonton bereksperimen dengan bentuk dan makna yang bisa dicapai dalam spirit sensor, tanpa melihat kata-kata yang bertentangan di dalamnya.
Dari sejumlah film sejarah yang dibuat pada masa Orde Lama hingga Orde Baru, tampak hampir seluruh penceritaannya adalah militer. Namun ada perbedaan antara film sejarah (perjuangan) pada masa Orde Lama dengan pada masa Orde Baru. Film masa Orde Lama tidak bertumpu pada figur sentral dalam klaim perjuangan. Sedangkan dalam film Orde Baru perjuangan bersenjata bertumpu pada figur sentral (Soeharto).
Dalam film-film perjuangan pada waktu itu, sebenarnya ditampilkan juga peran-peran dari tokoh sipil. Namun, kelompok sipil nyaris tidak pernah menjadi tokoh utama.  Setelah masa Orde Baru penonjolan peran militer yang mengambil setting masa revolusi malah semakin menguat. Terlihat dari sini, tampaknya ada upaya-upaya dari militer untuk menkonstruksi citra melalui film perjuangan atau historis.
Representasi relasi sipil-militer dalam sinema pada masa Orde Baru teridentifikasi pada film Enam Djam di Jogja, Janur Kuning, dan Serangan Fajar. Konstruksi ini amat ditentukan oleh pihak militer. Sipil hanya menjadi subordinat dari kepentingan militer. Militer bukan saja menguasai penggunaan senjata, tetapi juga sangat piawai membaca situasi politik saat itu. Sementara itu para politisi sipil dikonstruksikan sebagai sosok yang masih harus mengalami pergulatan dengan dirinya untuk dapat memutuskan sikapnya.
Relasi militer-sipil ini  melihatkan perbedaan karakter melalui 3 film di atas. Misalnya, militer memiliki sikap idealis, patriotik, proaktif, heroik, dan lebih memilih jalan kekerasan (perang). Sedangkan tokoh sipil digambarkan memiliki sikap pragmatis, kompromis, pengecut, dan mengutamakan jalan damai.
Film-film sejarah yang mengangkat tema “Serangan Utama 1 Maret 1949” seperti 3 film di atas tadi, tampaknya menjadi basis ideologi dan historis bagi militer. Dengan kata lain, militer memiliki keabsahan mengintervensi, bahkan mendominasi wiliyah sipil. Relasi sipil-militer seperti ini, akhirnya memperkuat corak pretorianisme dari rezim yang berkuasa di Indonesia sejak 1967.
Di masa reformasi sekarang ini, tampaknya mulai banyak muncul versi tentang kisah “Serangan Umum 1 Maret 1949”. Mulai dari tutur para pelaku, hasil studi ataupun pendapat-pendapat dari para ahli. Melihat keadaan ini, film-film yang diproduksi untuk tujuan politis itu mulai kehilangan pengaruhnya. Masyarakat sekarang yang memiliki informasi sejarah serta sikap kritis, pasti tidak akan begitu saja mempercayai “film-film perjuangan” yang pernah ada. Mereka percaya kebenaran adanya peristiwa (Serangan Umum), namun tidak mudah percaya jalan cerita peristiwa yang dibuat oleh sebuah film. Kecuali film tersebut adalah film dokumenter.

Daftar Pustaka
Irawanto, Budi. 2017. Film, Ideologi, dan Militer. Yogyakarta: Jalan Baru.
Matanasi, Petrik. 2018. “Dwipajana dan Film-Film daripada Soeharto”.                                          https://tirto.id/dwipajana-dan-film-daripada-soeharto-cw53. Diunduh 6 Maret  2018.
Raditya, Iswara N. 2018. “Propaganda Soeharto dan Serangan Umum 1 Maret 1949”.       https://tirto.id/propaganda-soeharto-dan-serangan-umum-1-maret-cFuk. Diunduh                      5 Maret 2018.
Sundhaussen, Ulf. 1986. Politik Militer Indonesia 1945-1965: Menuju Dwifungsi ABRI. (Terj.)      Hasan Basari. Jakarta: LP3ES.

[1] Budi Irawanto, 2017: 16.
[2] Budi Irawanto, 2017 : 115.