HIMPUNAN MAHASISWA SEJARAH UNIVERSITAS DIPONEGORO

Selamat Datang Smart People

SEJARAH HEBAT

Foto angkatan Himpunan Mahasiswa Sejarah masa bakti 2017-2018.

PENERBITAN SELALU BERSINAR

Jangan Lupa Membaca dan Budayakan Literasi

ABHINAWA CITRALEKA

memiliki arti penulis Prasasti yang luar biasa.

Logo Himpunan Mahasiswa Sejarah Universitas Diponegoro

Digambarkan dengan Ganesa karena mempunyai makna sebagai dewa pengetahuan dan kecerdasan.

Rabu, 27 Maret 2019

Prasasti Edisi 3

Hallo historian!
Sudah pada nyoblos belum? Jangan golput ya…
Politik kampus seru juga ya, tapi jangan sampai kalian gatau politik negara kita dari zaman-zaman. Nah untuk membuka kembali pemikiran kita prasasti edisi ke-3 telah terbit nih. Tema kali ini yaitu “Suksesi Politik dalam Sudut Pandang Sejarah”.
Prasasti dapat di baca di Rubah (Ruang Baca Sejarah) dan dapat juga diakses di blog HM Sejarah

https://hmsejarahundip.files.wordpress.com/2018/11/pelayaran-politik-di-indonesia.pdf


So, let’s read guys…
#DivisiPenerbitan
#TangguhBeraksi
#HMSejarahUndip2018

Prasasti Edisi 2

Halo Historian!
Prasasti edisi 2 yang bertemakan kemerdekaan Indonesia sudah terbit!
So, let’s read guys.
Prasasti edisi 2 bisa dibaca melalui link dibawah ini

#DivisiPenerbitan #TangguhBeraksi #HMSejarahUndip2018

Prasasti Edisi 1

Halo Historian!
Prasasti edisi 1 sudah terbit.
Prasasti ini bertemakan tentang Hari Nelayan. Prasasti ini berisi tentang kesejarahan, seputar sejarah, opini, rubrik, dan ada komik strip.
So, let’s read guys.
Prasasti edisi 1 bisa dibaca pada link dibawah ini
#DivisiPenerbitan #TangguhBeraksi #HMSejarahUndip2018

Selasa, 26 Maret 2019

Sinema dan Tentara

Kita tahu dulu tentara pernah menduduki posisi strategis untuk mengontrol jalannya pemerintahan. Mulai dari badan Eksekutif, Legislatif hingga Yudikatif tidak luput dari intervensi militer. Adanya sebuah upaya yang bertujuan untuk mendominasi segala segi kehidupan bernegara. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka militer harus menciptakan pola pikir masyarakat yang berorientasi pada hanya militer lah yang pantas untuk mengelola negara ini.  Pastinya militer memerlukan medium untuk menanamkan ideologisasi militerismenya. Dari banyaknya medium yang digunakan, salah satu mediumnya adalah film.
Pada awalnya film adalah ajang rekreasi atau hiburan bagi masyarakat kelas bawah di perkotaan, lalu dengan cepat menembus batas-batas kelas dan menjangkau masyarakat yang lebih luas. Kemampuan film yang mampu menjangkau banyak segmen sosial, kemudian menyadarkan para ahli bahwa film memiliki potensi untuk mempengaruhi khalayaknya.
Karakteristik film sebagai media massa juga mampu membentuk semacam konsesus publik secara visual (visual public consesus), karena film selalu bertautan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan selera publik. Dengan kata lain, film merangkum pluralitas nilai yang ada dalam masyarakatnya.[1]
Film sebagai medium ideologisasi militerisme memang digunakan militer di Indonesia, terutama di masa Orde Baru. Meski  ada beberapa film produksi Orde Lama   yang juga mengangkat militer sebagai orientasi utamanya. Seperti contohnya yaitu Enam Djam di Jogja. Film kedua yang diproduksi Perfini, perusahaan film yang didirikan pada 30 Maret 1950 oleh Usmar Ismail. Film yang pertama dari Perfini adalah Darah dan Do’a (Long March).
Sebenarnya ada negara lain yang juga menggunakan film sebagai medium ideologisasi militer, yaitu negara Amerika Serikat dalam film Rambo. Namun, diantara keduanya pasti terdapat perbedaan. Yaitu pada nilai kualitas, film-film Indonesia banyak yang jelek. Sebab, sangat kelihatan tipuan-tipuan pada setiap adegan. Berbeda dengan film Amerika Serikat, misalnya Rambo. Film ini digarap dengan serius. Adegan-adegannya dibuat sedimikian rupa agar terlihat sungguh-sungguh. Jika saja penggarapannya dibuat dengan sungguh-sungguh, film itu akan memiliki kualitas bagus. Film yang memiliki kualitas bagus menjadi potensial sebagai medium ideologisasi militerisme.
Film yang dijadikan sebagai medium ideologisasi militer memiliki genre khas, yaitu “film sejarah” (atau kadangkala disebut pula “film perjuangan”). Peristiwa-peristiwa yang temanya tentang pertempuran melawan pendudukan Belanda paling banyak diangkat ke permukaan. Meski ada beberapa film mengambil setting masa kolonial (Si Pitung) dan ada juga yang mengambil setting pada masa pendudukan Jepang (Lebak Membara).
Salah satu badan yang berpengaruh pada kontrol perfilman adalah istitusi sensor. Di Indonesia, institusi tersebut dinamakan Badan Sensor Film (BSF). BSF ini sudah ada sejak jaman Belanda. Sekarang badan tersebut bernama Lembaga Sensor Film.
BSF hanyalah bagian dari kisah penyensoran Orde Baru. Skenario sebuah film harus memperoleh rekomendasi dari Direktorat Film Departemen Penerangan sebelum syuting dilakukan. Setelah syuting, rush copy atau film yang belum diedit harus diserahkan kepada BSF untuk memperoleh petunjuk mengenai bagian yang harus diedit. Setiap film yang telah diproduksi atau diimpor, harus diserahkan pada BSF untuk ditonton oleh komite (3 orang).
Disisi lain, komandan militer rayon dan pemerintah lokal bisa menghentikan peredaran film yang telah lolos dari BSF di wilayahnya. Regulasi mengenai peraturan tersebut ditetapkan pada tahun 1970an. Tahun 1975, Badan Pembinaan Perfilman Daerah (BAPFIDA) didirikan di tingkat propinsi. Dikepalai oleh kepala wilayah departemen termasuk aparat keamanan yang ditunjuk oleh Gubernur.
Film-film Indonesia, Eropa,  dan Amerika berada di bawah perwakilan Departemen Penerangan sedangkan film Asia di bawah Badan Koordinasi Intelijen (Bakin). Sementara itu, kaset video berada di bawah Kejaksaan Agung. BAKIN juga memiliki dua perwakilan di BSF, kantor Kejaksaan Agung memiliki tiga, serta Kepolisian memiliki empat anggota. Karena itu, departemen pemerintahan memiliki dua per tiga dari anggota BSF – lebih dari sepertiganya adalah Angkatan Bersenjata.[2]
Ironisnya, sensor tidak hanya membatasi. Sensor juga menciptakan kondisi bagi setiap pembuat film dan penonton. Institusi itu memaksa pembuat film dan penonton bereksperimen dengan bentuk dan makna yang bisa dicapai dalam spirit sensor, tanpa melihat kata-kata yang bertentangan di dalamnya.
Dari sejumlah film sejarah yang dibuat pada masa Orde Lama hingga Orde Baru, tampak hampir seluruh penceritaannya adalah militer. Namun ada perbedaan antara film sejarah (perjuangan) pada masa Orde Lama dengan pada masa Orde Baru. Film masa Orde Lama tidak bertumpu pada figur sentral dalam klaim perjuangan. Sedangkan dalam film Orde Baru perjuangan bersenjata bertumpu pada figur sentral (Soeharto).
Dalam film-film perjuangan pada waktu itu, sebenarnya ditampilkan juga peran-peran dari tokoh sipil. Namun, kelompok sipil nyaris tidak pernah menjadi tokoh utama.  Setelah masa Orde Baru penonjolan peran militer yang mengambil setting masa revolusi malah semakin menguat. Terlihat dari sini, tampaknya ada upaya-upaya dari militer untuk menkonstruksi citra melalui film perjuangan atau historis.
Representasi relasi sipil-militer dalam sinema pada masa Orde Baru teridentifikasi pada film Enam Djam di Jogja, Janur Kuning, dan Serangan Fajar. Konstruksi ini amat ditentukan oleh pihak militer. Sipil hanya menjadi subordinat dari kepentingan militer. Militer bukan saja menguasai penggunaan senjata, tetapi juga sangat piawai membaca situasi politik saat itu. Sementara itu para politisi sipil dikonstruksikan sebagai sosok yang masih harus mengalami pergulatan dengan dirinya untuk dapat memutuskan sikapnya.
Relasi militer-sipil ini  melihatkan perbedaan karakter melalui 3 film di atas. Misalnya, militer memiliki sikap idealis, patriotik, proaktif, heroik, dan lebih memilih jalan kekerasan (perang). Sedangkan tokoh sipil digambarkan memiliki sikap pragmatis, kompromis, pengecut, dan mengutamakan jalan damai.
Film-film sejarah yang mengangkat tema “Serangan Utama 1 Maret 1949” seperti 3 film di atas tadi, tampaknya menjadi basis ideologi dan historis bagi militer. Dengan kata lain, militer memiliki keabsahan mengintervensi, bahkan mendominasi wiliyah sipil. Relasi sipil-militer seperti ini, akhirnya memperkuat corak pretorianisme dari rezim yang berkuasa di Indonesia sejak 1967.
Di masa reformasi sekarang ini, tampaknya mulai banyak muncul versi tentang kisah “Serangan Umum 1 Maret 1949”. Mulai dari tutur para pelaku, hasil studi ataupun pendapat-pendapat dari para ahli. Melihat keadaan ini, film-film yang diproduksi untuk tujuan politis itu mulai kehilangan pengaruhnya. Masyarakat sekarang yang memiliki informasi sejarah serta sikap kritis, pasti tidak akan begitu saja mempercayai “film-film perjuangan” yang pernah ada. Mereka percaya kebenaran adanya peristiwa (Serangan Umum), namun tidak mudah percaya jalan cerita peristiwa yang dibuat oleh sebuah film. Kecuali film tersebut adalah film dokumenter.

Daftar Pustaka
Irawanto, Budi. 2017. Film, Ideologi, dan Militer. Yogyakarta: Jalan Baru.
Matanasi, Petrik. 2018. “Dwipajana dan Film-Film daripada Soeharto”.                                          https://tirto.id/dwipajana-dan-film-daripada-soeharto-cw53. Diunduh 6 Maret  2018.
Raditya, Iswara N. 2018. “Propaganda Soeharto dan Serangan Umum 1 Maret 1949”.       https://tirto.id/propaganda-soeharto-dan-serangan-umum-1-maret-cFuk. Diunduh                      5 Maret 2018.
Sundhaussen, Ulf. 1986. Politik Militer Indonesia 1945-1965: Menuju Dwifungsi ABRI. (Terj.)      Hasan Basari. Jakarta: LP3ES.

[1] Budi Irawanto, 2017: 16.
[2] Budi Irawanto, 2017 : 115.

Senin, 25 Maret 2019